Selasa, 06 November 2018

Advokasi Masalah Pertanian Desa Taman Agung, Desa KKN ku


Sambung Lidah Petani

Assalamualaikum sahabat muda gadjah mada!

Saya Muhammad Pradipta Natriasukma dan inilah cerita saya.

Dalam agenda akademik UGM, bulan Juni-Juli merupakan periode kedua kuliah kerja nyata (KKN). Setelah berbagai macam tawaran tim, secara singkat saya ceritakan bahwa pada KKN KTM Belitang-lah saya harus mengabdikan diri. Tentu sebuah rezeki dan tantangan. Kebetulan KKN ini merupakan KKN Tematik dari Kementrian Desa, Transmigrasi dan . Dalam KKN ini saya baru mengetahui bahwa terdapat KKN yang diminta oleh pemerintah daerah. Dari hal tersebut maka terdapat panduan khusus ke-tema-an sehingga saya harus melakukan pengabdian sesuai dengan visi pemerintah tersebut.
Singkat cerita setelah masa penerjunan dari kampus hingga ke lokasi desa tempat tinggal, saya merasakan hal yang mirip dari yang saya dapatkan di tanah jawa, yakni orang-orang jawa sekaligus transmigran di Desa Taman Agung. Saya memiliki latar belakang dari fakultas pertanian. Meskipun saya pada jurusan Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, mau tidak mau saya harus aware pada masalah pertanian secara umum spesifik daerah. Kenapa spesifik daerah? Karena setiap daerah memiliki karakteristik pertanian yang khusus.
Pada hari-hari awal KKN, menjadi masa-masa melakukan survey di sekitar lokasi desa. Saya menemukan berbagai narasumber terpercaya untuk bercerita masalah tani. Mulai dari ketua gabungan kelompok tani, ketua kelompok tani, penjual alat dan sarana produksi tani, petugas penyuluh lapangan, koordinator penyuluh pertanian se-Kecamatan Semendawai Suku III, hingga beberapa petani langsung. Kebetulan pula, orang tua asuh saya juga merupakan petani yang dekat hubungan dengan pihak ketua kelompok tani dan setiap hari berurusan dengan masalah tani tersebut. Pak Woto, tetangga sebelah rumah, menjadi pemandu saya untuk hidup dalam lingkaran petani tersebut. Diskusi di sana sini saya lakukan. Alhasil, saya temukan komoditas utama di sekitar desa adalah padi, tebu, kelapa sawit, dan karet. Di Desa Taman Agung, dalam area desa sendiri lebih banyak tanaman padi dan karet. Namun, untuk tulisan ini, saya hanya akan berfokus pada padi saja.
Suatu ketika, atau memang hampir hari adalah cuaca panas, saya mengunjungi sawah dan melakukan pengamatan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Saya temukan masalah yang melingkupi petani pada daerahku tinggal adalah masalah irigasi, kondisi tanah, sosial ekonomi petani, dan hama & penyakit tumbuhan. Masalah irigasi utama adalah tidak sampainya debit air pada banyak blok di desa taman agung. Memang, pada blok padi sebelah yang hanya di pisahkan sungai justru persediaan air lebih banyak. Hal ini bukan tanpa sebab. Di daerah tersebut dulunya memang proyek irigasi untuk cetakan sawah yang nyatanya sekarang banyak alih fungsi menjadi tanaman karet. Namun, di blok yang area persawahan tidak banyak air yang sampai dibuktikan dengan ketinggian air yang tidak sampai 3 cm. Menurut teori pada dosen saya di kelas, apabila ketinggian genangan air padi tidak sampai 8-20 cm maka akan menimbulkan dampak pada kesuburan tanah, hama, dan penyakit. Hama dan penyakit yang saya temukan juga beragam seperti sundep, potong leher, blas daun, wereng, penyakit kerdil, dan tikus sawah. Kondisi tanah yang saya dapatkan informasinya adala memiliki pH < 4, terdapat pasir setelah kedalaman 10-25 cm, tanah berwana karat dan berwarna, adaptasi pemupukan berperiode. Masalah irigasi teknis meliputi air tanah yang keruh, kadang berwana merah, aliran air yang macet, penyebab waktu tanam yang beragam, dan kekurangan pasokan air. Masalah sosial ekonomi dapat meliputi harga jual gabah Rp 4000 yang sama dari setiap pabrik, biaya usahatani yang tinggi, dan apabila petani menjadi penggarap justru merugi.
Dari masalah-masalah tersebut, saya berinisiatif untuk menyambungkan lidah petani terhadap pemerintah daerah yang terkait. Saya menjadi resah karena masalah pertanian di desa menyangkut hajat hidup orang banyak, yakni pangan. Setelah mendapat informasi  tersebut, saya mendapat petunjuk supaya masalah ditingkat petani tersebut dapat diajukan pada Badan Penyuluh Pertanian dan Dinas Pengairan. Setibanya di sana, saya telah menyampaikan keluhan-keluhan petani dan diskusi panjang berujung ajakan untuk mengadakan rencana acara bikinan saya dengan nama “Peningkatan Produktivitas Padi Desa Taman Agung.” Acara ini murni inisiatif saya untuk menambah integrasi yang kuat agar meningkatkan produksi padi. Apabila ditanya kenapa produksi, saya akan menjawab bahwa harga jual di tingkat petani sulit di naikkan karena sebagian besar pabrik-pabrik penggilingan padi dimiliki oleh bos besar di Kota Gumawang. Hal ini berimbas pada harga beli yang sama untuk seluruh daerah penempatan pabrik. Hal ini tentu menurunkan posisi tawar petani dalam menjual gabahnya. Harga tidak bisa dimainkan, hanya hasil produksi yang dapat ditingkatkan. Tujuannya yakni, petani memperoleh pendapatan yang lebih tinggi sehingga meningkatkan kesejahteraan mereka ditengah kenaikan harga-harga pokok (inflasi).
Pelaksanaan yang terselenggara pada tanggal 25 Juli 2018 memiliki banyak cerita. Mulai dari kehadiran petani yang minim, padahal hari-hari sebelumnya sudah banyak yang mengiyakan. Hal ini bertepatan juga ketika mobil yang dipinjam oleh tim KKN kami terperosok ke dalam sawah dengan posisi yang miring. Hal ini menyebabkan pihak-pihak petani yang diundang justru membantu pengangkatan mobil terlebih dahulu daripadai. Benar apa yang dikata bapak Ali selaku PPL setempat bahwa apabila kurang “iming-iming” maka kehadiran petani tidak begitu banyak. Hari itu, acara harus molor sekitar satu (1) jam sehingga saya harus memutar otak. Akhirnya, seperti kiasan “jemput bola” saya mendatangi satu per satu rumah petani sendirian. Beberapa harus menunggu petani tersebut mempersiapkan diri, akhirnya petani datang juga. Meskipun jauh dari prediksi sebelum acara, yakni 6 orang dari target 30 orang.

Mobil jatuhnya miring, dong 

         
Meskipun begitu, acara tersebut berjalan lancar karena konten materi yang tetap informatif dari pihak petani selaku pelaksana dan Badan Penyuluh Pertanian (BPP)-Dinas Pengairan selaku regulator. Saya yang menjadi moderator menjadi penengah sekaligus penyambung lidah petani dan bapak-ibu dinas. Informasi pemecahan dari solusi hama & penyakit tanaman, sosial ekonomi, tanah, dan irigasi secara ide rampung. Setelahnya untuk menyaksikan keadaan yang nyata, kami semua mengunjungi sawah desa untuk meninjau lokasi. Petugas BPP mengeluarkan alat-alat cek PH dan lain sebagainya disamping memberikan penyuluhan teknis terhadap sikap bijak memupuk, menyemprot, dan mengelola hama dan penyakit. Dinas Pengairan lebih fokus untuk menindaklanjuti untuk rencana pembangunan dalam menyalurkan air dari blok-blok pertanian yang dipisahkan oleh sungai yang bersebelahan dengan volume air yang bebeda pula. Hal ini dilakukan supaya air lancar menueluruh. Rencana tersebut muncul atas usulan petani dalam ruang diskusi sebelumnya

Cek padinya, cek hamanya pak
Acara berakhir dengan senyum diantara semua hadirin yang datang. Nampaknya, saat itu semakin dekat komunikasi antara regulator dan pelaksana pertanian. Hari yang baik untuk memulai memperbaiki kehidupan desa. Atas nama pribadi, saya sungguh senang dalam menengahi acara sehari tersebut. Muncul harapan dari benak hati saya supaya sektor pertanian desa dan pelakunya menjadi lebih baik. Saya pun berdoa hingga hari ini untuk kebaikan untuk pertanian Desa Taman Agung. Sekian


Kamis, 20 Juli 2017

Testimoni Internship Di Agrisocio


Nama saya Muhammad Pradipta Natriasukma. Saat ini sedang menempuh studi di Sosial Ekonomi Pertanian ( Agrobisnis ) Universitas Gadjah Mada. Saya mahasiswa semester 4 yang masuk pada tahun 2015. Menurut saya, pengalaman mengenal kondisi kerja dengan ilmu terapan yang berhubungan sangat perlu bagi mahasiswa dalam menjalani ilmunya semasih di perkuliahan. Sembari menunggu motivasi yang datang, kali-kali perlu lah menjemput motivasi itu. Maka motivasi itu akan datang sendiri. Tentu, dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, maka semoga diberkahi segala keputusan yang diambil.

Sejak tanggal 10 Juli hingga 21 Juni 2017 saya memutuskan untuk mengikuti internship program “Expronas” dari IAAS di AgriSocio. Agrisocio ( PT. Global Inovasi hijau ) sendiri merupakan perusahaan rintisan dari Mas Alfi Irfan sejak Ia melakukan riset terhadap kondisi pertanian di ranah petani secara langsung pada tahun 2013. Dia merupakan mahasiswa angakatan 2009 yang telah lulus S1 dari IPB. Dengan ide baiknya, Ia mampu menggerakan petani dalam ranah pemberdayaan dengan inovasi bisnis disertai edukasi tentang pertanian dan pangan bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Alhamdulillah..! Ternyata cukup berkesan dalam benak saya, hampir segala aktivitas yang diintruksikan setiap hari baru pertama kali saya lakukan. Mulai dari kerjaan di kantor dalam empat hari yang melakukan survey supplier buah naga, menyiarkan pesan berantai tentang penawaran produk kepada calon pelanggan, menjadi online service, melakukan digital marketing, mendistribusikan pesanan AgriFresh, hingga mencari market dari end-user serta rumah-rumah makan di sekitaran Bogor Barat. Sampai berakhirnya partisipasi program, bahkan enam kali ke rumah produksi dengan lahan tanam di belakang rumah. Aktivitas dari panen kacang hijau, ubi jalar, kacang buncis, kacang panjang, cabai-cabaian yang terkena penyakit patek, mengupas kulit kacang ijo dan edamame, mencabut gulma di lahan ketimun dan edamame, menanam kol dan kangkung serta menyiramnya, memasang mulsa serta melibanginya, memberikan pupuk kandang dan ZA , mengupas berbagai produk-produk pertanian seperti baby corn, hingga melakukan tindakan pasca panen seperti mengupas berbagai produk-produk pertanian ( baby corn ), menyortir cabai, dan wrapping produk AgriFresh. Bahwa kalimat-kalimat barusan merupakan himpunan redaksi yang akan terkenang dalam gambaran pikir saya. Semoga menjadi langkah awal dalam melakukan bisnis bagi saya. Di sinilah saya berusaha memahaminya. Walaupun ekspektasi saya terlalu tinggi, memang diri saya ini perlu belajar banyak dari kepemimpinan Mas Alfi ( CEO Agrisocio ), Mas Arnian ( Manajer Pemasaran), Mang Ugan ( Manajer Produksi ) , Pak Rohlan ( Asisten Manajer Produksi ), serta Bang Owanda Alam Pugung ( guide saya dan teman-teman selama kerja dan kegiatan di luar kerjaan).

Banyak sudut pandang menarik ketika saya menemukan realita di lahan produksi. Saat saya melihat satu petak cabai-cabaian yang terkena penyakit patek ( antraknosa ), saya langsung prihatin dengan kondisi usahatani seorang petani yang melakukannya dengan modal yang minim. “Bisa-bisa mereka jatuh bangun mengembalikan pinjaman uang yang telah digunakan untuk menanam cabai,” dalam benak saya. Nampaknya petani punya tantangan yang besar terhadap penyakit patek, begitu konsklusi saya setelah berdiskusi singkat dengan Mang Ugan. Karenanya patek yang begitu mewabah. Mungkin disertai udara lembab yang selalu menyelimui langit Bogor sehingga penyakit ini mendapat kondisi yang cocok untuk menyebar secara cepat. Saya tidak habis pikir ketika petani dengan modal sedikit tadi mengalami kondisi serupa. Apalagi kalau tidak bergabung ke kelompok tani. Berbeda dengan telah diberdayakannya sejumlah kelompok tani oleh Agrisocio, semoga ini menjamin seorang petani lebih berkembang perihal edukasi dalam usahatani. Saran saya, perlunya kerjasama dengan ahli Hama dan Penyakit Tumbuhan serta Budidaya Tanaman ( Agronomi ) oleh Mas Alfi. Sehingga petani memiliki kemandirian lebih dalam menghadapi tantangan itu. Sekaligus mengajak lebih banyak petani untuk sama-sama mandiri.

Dalam hal yang lebih penting lagi ialah pencarian market. Hal ini sangat menjadi tantangan tersendiri untuk perusahaan social entrerprise, diperlukan seni dalam menjual produk-produk yang kita miliki dengan memanajemen antar produksi dengan permintaan. Secara tidak langung saya juga memahami hal tersebut selepas kegiatan internship.

Semakin terangkatnya nama Agrisocio di Indonesia, semoga muncul Agrisocio serupa di daerah lain. Dengan suasana edukatifnya dalam kegiatan internship, hal tersebut bukan tidak mungkin terjadi bagi peserta magang.

Saya sangat mengapresiasi terhadap inovasi-inovasi yang muncul dari orang-orang baik yang ingin memajukan pertanian dan pangan di Indonesia. Ada secercah harapan dalam menatap bonus demografi dan isu pangan yang menjadi objek utama penduduk bumi di tahun 2048, setelah konflik minyak bumi di Timur Tengah. Yang akan bersanding dengan Air dan Energi.

“Pertanian Indonesia harus jaya, Pertanian Indonesia harus jaya ! ”


Jum’at, 21 Juli 2017
Muhammad Pradipta N

Minggu, 05 Maret 2017

Tenggara Hotel


Tenggara Hotel

Oleh : Muhammad Pradipta N.


Suatu hari istimewaku
Berbujur amanat ‘tuk mengantar surat
Ucapan terhadap hariku menggema
Kecuali suatu sapaan

Hanya tinggal antar saja
Pada bawah terik yang terpancar
Menyilaukan putih amplop surat ini
Untuk selipat kertas segi panjang
Dan isi surat yang menjadi pikir panjang

Belakang Hotel Tentrem
Memberi krem pada nuansa pandangku
Berhias corak emas
Membuktikan citra mewah di dalamnya

Namun ku di luar
Tenggara hotel
Hanya terus mencari tempat yang ku tuju
Padat, Sempit, Beton
Namun tiada rasa kumuh

Masih mencari tujuan surat
Dengan bertanya kepada warga setempat
Apakah mereka tak sempat
Memberi petunjuk keputusan yang bulat
Ah, Selamat
Untung,aku tidak mengumpat

Baru ini ada peristiwa
Warga jogja tak menyapa
Kakek, bapak, dan anak
Hanya diam tak bergerak

Sepi tanpa dialektika
Antar aku dan mereka
Antar mereka dengan mereka
Tidak terasa andai seperti biasa

Perasaan aneh atau aku yang tidak suka
Seharusnya aku disapa
Persepsiku,
Ini adalah warga Jogja



#11Feb2017

Selasa, 17 Januari 2017

Pengalaman SOREM DEMA Faperta UGM 2016




 Assalamualaikum wr. wb.
Setelah sebelumnya program kerja SOREM agak tersendat, tetapi akhirnya masih bisa dijalankan di akhir kepengurusan. Walaupun mengalami halang rintang, rintangan itu memunculkan sebuah kekompakan ketika kami mulai goyah. Tapi terkenang masa-masa sulit itu, timbullah sebuah kesuksesan yang mempunyai arti dalam diri pengabdian. Selamat datang untuk kami, seluruh panitia dan peserta bersama Pengabdian Masyarakat DEMA Faperta UGM dalam kegiatan Study On Rural Empowerment 2016.

Hari Pertama, 20 Desember 2016
Ternyata, halangan masih terus berlanjut ketika kami (Panitia-Red) menemukan kesulitan di hari H pemberangkatan. Akar masalahnya, kami kekurangan 11 nyawa. Mereka izin dengan berbagai alasan. Kesemua nyawa tersebut sebenarnya ialah volunteer dari acara ini. Mau tidak mau serta suka tidak suka maka sang Ketua dan Organizing Committee (OC) saling berdiskusi memecahkan masalah ini. Berbagai usaha dilakukan seperti menarik panitia menjadi seorang volunteer hingga menghubungi kakak-kakak tingkat kedirjenan tahun lalu (2014) untuk diminta menambah jumlah volunteer tersebut.
Saya yang mengelak untuk dijadikan volunteer pun berubah pikiran, dari ketidakenakan membantu panitia untuk mempersiapkan acara, beralih membantu dalam mengurangi beban kekurangan peserta. Sejenak timbul rasa menyesal hingga tidak tulus hati saya menjadi peserta dadakan. Kemudian waktu menjadi cepat, saya bergegas mencari barang-barang yang dibutuhkan panitia berupa sembako dan souvenir sebagai kenang-kenangan untuk keluarga asuh ku.
Jam berangkat pun tiba, tepat pukul 14.00 WIB bis kami serta beberapa rombongan motor berangkat menuju lokasi. Kurang lebih 2-3 jam adalah waktu yang dibutuhkan. Waktu tersebut tidak terasa ketika kami disuguhi pemandangan alam milik Kabupaten Gunung Kidul. Kebetulan, Bulan Desember 2016 menjadi pemandangan hijau tatkala hujan dianugerahkan untuk kawasan pariwisata yang sedang naik daun ini.
Sesampainya di lokasi, terdapat acara sambutan bagi kedatangan kami yang nampaknya langsung disambut ramah oleh warga sekitar. Buktinya, Rumah Bapak Jafar sebagai tempat berkumpul sudah didatangi oleh para warga yang telah menyatakan siap untuk menjadi orang tua asuh selama tiga hari. Suasana ramai ketika para panitia dan peserta sudah dihadapkan langsung dengan calon orang tua asuh di ruangan yang tidak terlalu besar tersebut. Masing-masing peserta memiliki wajah penasaran ketika mereka akan dipasangkan oleh panitia. Teman-teman silih berganti tahu siapa orang tua asuhnya. Kebetulan saya dipersilakan berdiri menggunakan lutut dan menunjukkan wajah ketika dibacakan nama bahwa Pak Ratmo dengan Muhammad Pradipta. Senyum di bibir saya awalnya belum menunjukkan keyakinan bahwa saya ikhlas mengikuti kegiatan ini. Terngiang-ngiang bahwa saya sebenarnya ingin membantu panitia dalam menyiapkan acara daripada menjadi peserta acara.
Saat itu yang datang ialah istri Pak Ratno. Pertama kali saya tengok, beliau penuh senyum menyambutku. Ketika itu pula, dengan perasaan biasa-biasa saja saya melangkah bersama beliau menuju rumahnya.
Tetiba di rumahnya, ternyata ruang tamu sudah ada Pak Ratno, Mamak (Anak Pak Ratno). Terdapat anaknya yang bernama Hestu. Hestu sendiri ialah cucu dari Pak Ratno. Untuk Pak Ratno, tidak sempat saya tanyakan, tetapi mohon maaf sekitar 60 tahun ke atas. Hestu dan Mamak  menyambutku dengan senang dan Pak Ratno sedikit menutup senyum. Nampaknya di antara kami belum lepas untuk memulai obrolan. Buktinya, beberapa kali terjadi jeda antara obrolan kami. Pak Ratno mengaku, tahun ini adalah tahun pertama beliau memberikan hitam di atas putih untuk kesanggupan menjadi orang tua asuh.
Saya yang tadinya belum merasakan kedekatan antara kami, memberanikan diri membuka topik tentang silsilah keluarga baru saya. Lalu, Pak Ratno berhasil menjelaskan dengan lancar sehingga saya paham siapa-siapa yang ada di depan saya sekarang. Saya langsung mengerti peran masing-masing anggota keluarga dalam suasana baru ini. Cucu Pak Ratno, Hestu, merupakan siswi SMK yang masih menempuh masa liburan di kala itu. Keliatannya, dalam tiga hari ini tiada kesibukan di luar rumah, artinya saya setiap hari akan bertemu dengan mereka di rumah.
Singkat cerita, pembicaraan di malam itu menjadi asik setelah kami telah memecah jarak dengan perkenalan tadi. Malam itu malam yang saya khususkan untuk bonding dengan keluarga baru. Akibatnya, panggilan dari panitia untuk berkumpul di rumah Pak RT pada satu jam setelah pembagian orang tua asuh, saya hiraukan. Biarkanlah saya menambah kedekatan dengan keluarga baru sebelum membantu tanggung jawab panita untuk rapat, begitulah pikir saya.
Merasa sudah cukup, saya mohon izin untuk pertama kali meninggalkan keluarga sebagai anak yang ingin keluar rumah menuju ke tempat rapat. Saat itu dengan senyum khas Pak Ratno, beliau memberi pesan hati-hati kepada saya untuk kemudian kembali pulang, melaksanakan tugas keprofessionalan diri, yakni tidur. Kenyataannya saya keluar rumah pukul 21.00 WIB justru kembali pulang pukul 23.30 WIB. Bertegur sapa dengan dua tetangga di dekat rumah Pak Ratno ialah penyebab asiknya membangun hubungan baru dengan warga RT 04 dan 05 di Dusun Sureng I, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul. Kebetulan di kedua tempat tersebut terdapat teman saya yang sedang mendekatkan diri juga kepada keluarga masing-masing. Saya ikut larut dalam pendekatan itu menemani keluarga Widi dan keluarga Megan yang bergabung dengan keluarga Eka.
Momen ketidakenakan pertama kali timbul ketika saya pulang. Sebuah kasur dengan 1 x 2 meter berjumlah dua, terbungkus rapi oleh balutan sprei yang hangat. Maklum, di luar rumah sedang hujan. Untuk menambah rasa hormat kepada hujan, saya sangat ingin melawannya dengan kehangatan. Ketidakenakan saya sungguh terasa ditambah oleh bantal dan sajadah yang sudah diletakkan. Saat itu kasur tersebut diletakkan di ruang tamu sekaligus ruang keluarga lengkap dengan TV. Ruang tamu tersebut dapat terlihat persis setelah melewati pintu terdepan rumah. Lalu, kenapa merasa tidak enak? Bahwasannya sebelum keluar rumah pertama kali tadi, Pak Ratno menanyakan kepada saya setelah pulang ingin tidur di mana. Beliau manawarkan untuk tidur di dalam kamar. Singkat cerita setelah melepaskan masing-masing argumen, saya mengekang tidur di kamar dengan berkeinginan untuk tidur di depan TV saja. Tetapi yang tadinya bermaksud untuk tidur hanya di atas karpet justru ditambah dua buah kasur hangat. Sungguh, terimakasih keramahan ini. 

Hari Kedua 21 Desember 2016
Pagi hari ini di desa yang berjarak 3 jam dari Kota Yogyakarta tidak terlalu panas seperti ketika siang hari yang normal di daerah Gunungkidul. Justru uap air sisa hujan semalam memberikan sedikit kabut yang membuai embun. Kebetulan, di samping rumah ada bukit kecil yang hijau. Setiap tanaman yang tumbuh mampu memunculkan butir uap untuk memberi kesegaran aktivitas di bawah bukit.
Pagi itu, saya bersama Bapak berbincang ala kadarnya dengan badan baru lepas dari tarikan kasur. Di depan rumah, tepatnya di bawah bukit, kami dapat memandangi lalu lalang warga yang membawa arit ataupun selendang. Sepertinya mereka ada yang ingin menyapa ladang maupun menjumput kebutuhan pokok di pasar. Teman saya yang mengenakan sarung berjalan dengan menggandeng anak kecil. Dia mencoba memberi pengalaman jalan-jalan pertama kepada gandengannya di desa itu. Dialah si Hanif.
Datanglah tetangga depan rumah yang nimbrung dalam obrolan kami, dia adalah orang tua asuh dari teman saya juga, Si Widi. Beliau memanggilnya “Tri” lantaran terdapat tiga kata tersebut dalam nama aslinya, yakni Tri Widianto. Sebelum beliau datang, Pak Broto ialah tetangga samping kanan rumah yang terlebih dahulu datang. Beliau sudah banyak bercerita dalam obrolan kami. Pak Broto mempunyai anak asuh sekaligus teman saya, Avin Larasati. Saling bertukar informasi ialah agenda utama kami di pagi itu. Luar dugaan, pembicaraan pagi ini memunculkan rasa penasaran saya terhadap desa ini. Mulai dari banyaknya hama kera yang ada di ladang sebelah bukit dekat dusun. Kera tersebut sungguh merepotkan produksi, apalagi ketika tongkol jagung dicopot dari pangkalnya, berserakan, dibawa ke atas bukit. Mereka memakannya. “Ah dasar kera, kalo dibunuh melanggar aturan bisa kena denda, kalo dibiarkan giliran ladang kami di habisi,” ujar Pak Broto. Raut muka kesal berpadu dengan rokok yang menyala. Padahal, di samping rumah kami juga terdapat bukit. “Apa bukit di samping kita ini juga ada keranya, Pak?” tanyaku. “Wah nggih di depan ini yo ada”, jawab pak broto dengan logat jawanya. Betapa tidak penasaran, tahun 2016 adalah tahun kedua saya mendatangi Dusun Sureng I ini. Tahun lalu saya tidak mendapat cerita bahwa ada penyerangan kera terhadap lahan warga. Keingintahuan ini saya simpan untuk didiskusikan dengan Pak Ratno.
Cerita selanjutnya ialah tentang air kapur. Pak Ratno bercerita kepada forum tentang obrolan dengan saya semalam. Dia bercerita kalau saya sumringah ketika mengetahui cerita air yang biasa digunakan untuk cuci baju, cuci piring, minum, masak, dan keperluan rumah tangga lainnya memakai air dari tangki yang dijual Rp 100.000,00. “Harga tersebut bisa membengkak ketika seorang pelanggan memiliki rumah yang jauh dari jalan raya aspal,” tutur Pak Ratno semalam. Namun air tangki hanya marak digunakan warga ketika sedang musim kemarau saja. Di musim hujan seperti Bulan Desember 2016 ini warga menggantungkan pada air hujan pada sistem tadah yang bervariasi di rumah setiap warga. Ada yang mengalirkan air hujan dari genteng ke bak tampungan dan ada juga yang langsung menampung pada bak yang terpapar mata hari langsung. Masih berbicara soal air tangki, ternyata air tangki di sini menimbulkan sedikit keresahan. Awalnya saya pikir lancar-lancar saja penggunaannya setelah dibeli, air tangki ya tinggal dipakai. Ternyata sebuah reaksi ilmiah selalu terjadi ketika suatu cairan dipanaskan. Jika air tersebut hanya dipenuhi oleh H20 maka air hanya menguap. Berbeda ketika warga memanaskan air tangki ini, di ceret misalnya, sebuah kristal membatu nampak mengeras setelah air tangki yang mendidih didinginkan.  Ya, kristal yang berwarna putih tersebut menempel pada dasar ceret dan ada juga yang tetap melayang-layang. Bayangkan saja, air ini yang digunakan setiap hari di musim kemarau. Sungguh pekerjaan yang merepotkan ketika menggunakan ini untuk air minum. Tentunya perlu disaring terlebih dahulu. Air inilah yang digunakan minum oleh warga.
Cerita tersebut justru menyulut rasa keingintahuan saya, saya mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada Pak Ratno. Disiapkanlah sebuah ceret dan kami bergegas mencari air tampungan yang masih banyak air kapur. Saat itu kami meminta tetangga yang masih punya air kapur. Tak dipungkiri, ketika musim hujan ialah musim paling “lega” untuk mendapat tegukan air minum. Air hujan mampu mendominasi daripada jumlah air kapur di seluruh tampungan. Rasa aman lebih disyukuri olh warga ketika musim hujan. Singkat saja, saya sudah berhasil meminta air dan langsung kami rebus. Syaratnya, ceret diisi seperti biasa hingga terisi penuh. 
Di awal masa tunggu terhadap mendidihnya air ceret, tetiba Ibu Ratno berkeinginan ke ladang. Kesempatan buat menemani tersebut, saya manfaatkan sekaligus belajar secara nyata tentang kebenaran apa yang ada di ladang masyarakat. Pak Ratno ikut menemani, sebuah arit dan topi menjadi seragam kami.




Di atas adalah pemandangan yang ditangkap retina kami sekaligus jepretan optik kamera yang berhasil diabadikan. Suasa tersebut masih lebih baik, setahun lalu saya ke tempat yang sama, suasana bukit berwarna hitam. Artinya, tiada tanaman yang tumbuh. Hanya bukit batu yang terjal. Pun dengan tanamannya, meranggas mengaum nutrisi dan air. Hanya terlihat petak tanah luas berwarna coklat kemerahan di tahun lalu. 
Maksud Ibu Ratno bergegas ke ladang adalah mencari makan untuk tiga kambing piaraannya. Satu dari tiga kambing tersebut adalah anakan. Jadi, perasaan untuk memelihara kambing yang masih anakan akan menambah motivasi mencari pakan untuknya. Sesampainya di ladang garapan Pak Ratno, muncul tugas awal untuk mengarit rumput di sekitarnya. Sekitarnya adalah bukit hijau untuk anugerah musim ini.

  Bekal keingintahuan saya  berkehendak yang lain, ketika panitia sempat menganalisis masalah yang ada di desa ini terdapat hama uret dan hama mentul. Hama uret adalah sejenis hewan yang berbentuk seperti ulat berwarna putih yang hidup di dalam tanah yang di tanami tumbuh-tumbuhan. Hama uret termasuk hama yang berbahaya, karena menyerang tanaman di bagian akar sehingga tumbuhan yang di serang bisa layu atau mati.Hama uret berasal dari telur serangga yang hidup di dalam tanah . Hama mentul merupakan hama berbentuk uret berwarna putih dan berukuran lebih kecil dan tebal. Hama tersebut menyerang batang padi berumur 15 hari sehingga merusak tanaman.
Saya bersama bapak mencoba menggali seperti apa uret di sini. Beberapa percobaan galian arit dilancarkan. Di pinggir ladang, saat itu kami menemukan uret. Yang satu ini hanya anakan. Besar kemungkinan hama tersebut mendapat bentuk badan lebih besar sejalan dengan umurnya.


 Pak Ratno mengeluarkan argumen. “Mas, itu yang dipinggir-pinggir masih kecil mas, makanya agak sulit kan nyarinya tadi. Itu di tengah ladang lebih besar dan biasanya lebih banyak,” celetuk Bapak Ratno. Saya membayangkan resahnya para petani saat kehilangan sumber produksinya oleh hama ini. Kenyataannya, di pinggir ladang memang kerusakannya tidak terlalu parah. Tidak seperti ditengah ladang. Seorang Ibu petani di ladang sebelah mempunyai pendapat “Mas, lha iya yang pinggir tidak ada hamanya, wong sering di buat lewat sama orang kok,” ujar Ibu petani yang tidak sempat saya tanyakan namanya. 
Bukti nyata penyerangan hama di tengah ladang ditunjukkan oleh Pak Ratno dan Ibu tersebut. “Nah itu liat itu mas, ditengah batangnya pada ambruk, habis semua dimakan hama,” ujar Pak Ratno setelah kalimatnya saya ubah ke dalam Bahasa Indonesia. “Mas hamanya sudah mengganggu sekali. Padahal kami sudah tanyakan obatnya ke dinas, ke anak-anak KKN terus lanjut ditanyakan ke dosen mereka, tetapi masalah ini belum terselesaikan,” tambah ibu petani tersebut. Sementara itu, kadangkala kami disebut sebagai mahasiswa yang sedang KKN. 



Dari gambar yang juga menjadi gambaran keganasan hama uret sudah saya tunjukkan, patutlah rasa simpati dan empati teman-teman hinggap di hati masing-masing. Bahwa sebuah rintangan seperti ini dilalui oleh petani kita. Masihkah tidak mau menghabiskan makanannya di piring? Masihkah tidak mau membela kata adil untuk petani? Masihkah teman-teman menganggap petani adalah penyuplai makanan yang tidak ada jarak kedekatan dengan kita? Dengan bermaksud secara persuasif saya mohon untuk diimplementasikan pada diri teman-teman.


Sementara itu, kita lanjutkan kepada cerita, Ibu petani tersebut melanjutkan aktivitasnya. Dengan diayunkannya arit dengan piawai, Beliau menebangi tanaman jagung miliknya. Ada apa? Setelah saya tanyakan, beliau berujar bahwa hama-hama telah memakan beberapa bagian tanaman miliknya. Celakanya, ialah batang tanaman jagung yang dimakan oleh hama pada pangkalnya. Terlihat oleh saya, tanaman tersebut sudah tidak mampu berdiri tegak. Tidak hanya satu tanaman, justru banyak. Maka, atas semua kondisi tesebut Ibu petani ini memilih untuk menebangnya. Sebuah kalimat canda keluar dari lidah Beliau “Iya, itu saya tebangi. Lumayan buat nambah pakan ternak.” Suasana cair sejenak.

Saat itu kami lebih banyak bercerita soal uret. Sayangnya tentang hama mentul belum banyak dibahas dalam forum kecil di bawah terik matahari tersebut. Hanya ada sebuah cerita kurang baik ketika hama-hama tersebut membuat gagal panen dua kali pada dua tahun berturut. Begitulah testimoni kegiatan pertanian oleh Bu Broto di lahan garapannya. Bu Broto ialah istri dari Pak Broto yang tinggal di samping kanan rumah Pak Ratno.
Selesai cerita-cerita dengan Ibu Petani, Pak Ratno meminta saya menemaninya ke atas bukit seberang. Misi kali ini benar-benar menaiki bukit untuk mengarit tanaman dalam menambah pakan ternak. Bergegas kami bergegas. Sampailah pada bukit sebrang, di sana justru saya bertemu dengan dua orang pasangan setia sampai tua. Ladang Pak Ratno bersebelahan dengan ladang dua orang ini. Dua orang tersebut yang mengajak jalan-jalan saya di desa ini kala itu. Dua orang tersebut yang membuat manis makan malam bersama saya di ruang tamunya. Tidak lain dan tidak bukan, dua orang tersebut ialah orang tua saya saat berada di dusun ini pada tahun lalu. Sungguh melepas rindu selama setahun seperti hujan kelegaan deras, jatuh tepat di hati. Setahun lalu, antara kami bertiga yang bercengkerama di ruang tamu berpindah di bawah gubuk bergenteng tanah liat di pinggir ladang. Sebuah ceret yang sedang di rebus menandakan teh sudah siap di teguk. Suguhan tersebut dinikmati bersamaan oleh bau asap hasil bakaran arang panas di bawah ceret. Luar biasa nostalgia ini di antara kami. Dengan pemandangan sawah, kini sebuah perbincangan deja vu berlangsung. Oiya, nama beliau adalah Mbah Sasmo beserta Mbah Putri yang setia menemani.
Awalnya mbah putri lupa akan siapa saya. Kejadian lucu bahwa beliau hanya hafal betul asal daerah anak asuhnya, Beliau berujar bahwa ia dari Kulon Progo tapi besar di Sumatra. Kemudian saya mengaku “Mbah yang bener itu dari Kulon Progo tetapi besar di Semarang, ini lho mbah saya yang tinggal di tempat mbah tahun lalu,” bantah saya sambil membuka topi, dalam arti menunjukkan muka diri yang pernah menjadi anak asuhnya. “Oalah, jabang bayi. Kamu ternyata, ” terdengar gelak tawa olehnya.
Seperti orang yang pernah memiliki asmara, momen tersebut ialah CLBK ( Cinta Lama Bersemi Kembali ). Sebuah momen temu kangen antara kami, mengingatkan saya akan gaya khas Mbah Sasmo dan Mbah Putri dalam mengungkapkan cerita. Cerita horor yang termasuk menu utama kami tahun lalu bertambah tiga cerita yang dibagikan kepada saya di gubuk tersebut. Lengkap dengan teh pelancar komunikasi di tenggorokan. Kata mereka, tahun ini saya sudah banyak menjawab dengan Bahasa Jawa pada tingkatan krama, tidak seperti tahun lalu. Itulah salah satu perkembangan yang diakui oleh kedua orang tersebut.
Cengkrama tinggal cengkrama. Senyum saya menjadi senyum perpisahan sesaat ketika Pak Ratno, orang tua asuh saya sekarang, mengajak pulang. Tandanya, sudah ada kumpulan pakan ternak di bahunya. Usai mengucap janji bahwa akan singgah ke rumah Mbah Sasmo nanti sore, saya bergegas pulang. Untuk membantu pekerjaan, pundak saya ikut-ikutan menahan pakan ternak hasil kumpulan Bapak dan Ibu Ratno.
Di jalan setapak untuk pulang, kami melihat bukit seberang. Banyak gerombolan kera. Kesal dan sebal tiada tara. Pak Ratno dan Ibu Ratno melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kera-kera itu mengambil tongkol jagung yang sudah menguning. “Woy! Pergi ! Habis ini ladang nanti!” teriak beliau. Kesal ini bertambah tatkala melihat gerombolan keraa tadi menaiki bukit lalu menyebar ke arah atas. “Ya Allah banyak sekali ternyata. Ladang di sini banyak, santapan jagung melimpah. Apa iya kera-kera dengan enaknya tidak mengambil kesempatan ini. Lalu harus diapakan mereka. Sementara dibunuh melanggar aturan,” batinku. Selama ini, populasi mereka sempat berkurang oleh pengangkutan sebuah truk. Kala itu kera-kera dibawa ke Jawa Barat. Tapi entahlah, populasi cepat bertambah. Hama kera masih menjadi topik bahasan untuk kegiatan pertanian di sini.
Kami lanjutkan pulang. Lomba balap kecil menenteng beban di bahu menjadi ajang pencarian bakat pembawa pakan ternak tercepat. Saat itu treknya adalah menaiki bukit untuk pulang. Dengan langkah pasti, saya tercepat untuk menggapai atas bukit jalan pulang. Penulis menang.
          Sesampainya di rumah, saya sudah capek. Kini ditunjukkan oleh mamak, ceret hasil rebusan air kapur yang tadi pagi sudah mendidih. Metodenya, 1/4 air disisakan di dalam ceret sementara 3/4 dipakai untuk keperluan lain. 1/4 dari volume ini disisakan supaya memberi kemudahan dalam menilik kotoran dan kristal yang dihasilkan oleh air kapur. Perlahan untuk berubah dingin merupakan waktu yang perlu ditunggu. Hingga dengan jelas saya dapat mengamati sesuatu endapan

Cerita tentang air kapur ini memang nyata. Bahwa air inilah yang ikut dalam prioritas kesekian konsumsi warga. Saya turut mempunyai rasa empati terhadap warga di Gunungkidul. Kenyataannya air tangki ini juga menjadi prioritas konsumsi oleh masyarakat se-Gunungkidul. Beberapa dari mereka masih berani menggunakan air tersebut sebagai air minum.
Masih di hari yang sama, panas terik menjadi ciri khas Gunungkidul ketika tengah hari. Suasana gerah menuntunku mandi dalam suasana baru. Sebuah kamar mandi terbuka tanpa pintu dan beratapkan langit serta kepala saya dapat terlihat oleh orang di sekitar. Sementara itu, ketika saya ingin membuka baju tetiba sekelompok anggota keluarga lengkap tanpa kehadiran sang ayah menyapaku. Saya kaget. Uniknya, masih sempat saya ladeni obrolannya dengan tawa. Intinya, mereka menanyakan keberadaan teman saya yang tahun lalu mengikuti acara yang sama. Bersamaan dengan ini, hanya nampak kepala saya dari luar. Selesai topik, saya berlanjut membasuh diri. Air bak yang adem berkolaborasi dengan sengatan matahari.
            Siang hari masih terik. Panitia memanggil semua mahasiswa untuk berkumpul ke rumah Pak RT. Hari ini ada kegiatan dari panitia, yakni Bazar Baju Murah. Bazar baju kali ini berkonsep murah. Rencananya hasil dari penjualan kami ini akan di sumbangkan untuk dana kas desa. Bertumpuknya pakaian bekas pakai ialah hasil kumpulan milik teman-teman mahasiswa di kampus. Bapak-bapak dan Ibu-ibu berdatangan memilih barang yang akan dibelinya. Seorang anak kecil berkicau ingin mengenakan memilih baju polo putih bertuliskan “Berkuda. Universitas Gadjah Mada.” Saya tau baju tersebut sumbangan teman saya, si Widi. Raut senangnya terlihat saat pertama kali memakai baju-baju penjualan kami. Ah anak kecil ini.
Lalu, kegiatan dari panitia untuk sore ini adalah pembuatan verticulture. Verticulture adalah pola bercocok tanam yang menggunakan wadah tanam vertikal untuk mengatasi keterbatasan lahan. Acara ini diikuti oleh anak-anak. Mungkin tidak ada peserta yang melebihi tingkat SD. Mereka mengikuti dengan ceria. Sesuai judul untuk kegiatan ini, Pertanian Ceria. Pembuatan yang tidak terlalu sulit adalah kelebihan dalam melancarkan praktek. Kumpulan game serta ice breaking dari kakak-kakak panitia dan peserta saat itu membuat suasana cair. Hasil jadi verticulture dari anak-anak lalu digantungkan di sekitaran masjid dan di depan rumah masing-masing. Sawi menjadi komoditas pelecut semangat mereka untuk menanam lebih banyak sayuran di pekarangan rumah. Kegiatan di tutup dengan game pendinginan. 

Setelah kagiatan dari panitia hari ini selesai, saya memberanikan diri untuk singgah di keluarga asuh lama saya di tahun lalu. Janji untuk singgah telah terucap sejak dari ladang tadi pagi. Dengan membawakan oleh-oleh berupa baju murah dari acara Bazar Baju Murah ini, membuat saya semangat untuk memberikan sesuatu barang yang tiada habis disimpan dalam lemari. Harapannya menjadi bukti pengingat mereka di tahun kedua bahwa saya mengunjungi dusun ini. Bersama saya, bukti ini sampai di rumah mereka di saat waktu Magrib. Dan benar saja, Mbah Sasmo sudah sedia duduk santai di ruang tamunya. Barang yang saya bawa kemudian saya tunjukkan sebagai rasa untuk bereuni. Tikar dari rotan menjadi saksi awal nostalgia kami. Sebuah suguhan khas keluarga ini pun dihidangkan. Menandakan ada tamu hangat ingin merasakan memori masa lalu.
Gula batu dari aren menjadi pemanis setia untuk keluarga ini. Entah, dengan maksud kesehatan ataupun selera. Tapi penggunaan pemanis tersebut sudah dilakukan sejak lama untuk memaniskan ruang tamu itu. Pembicaraan mulai terasa dekat ketika barang bawaan saya dikeluarkan. Dua baju untuk Mbah Sasmo dan satu stel baju untuk mbah putri nampaknya cocok dan pas dengan ukuran tubuh masing-masing. Terima kasih untuk teman-teman panitia yang turut memilihkan baju tersebut. Gelak cerita mulai disajikan seperti tahun lalu. Mbah Sasmo kini mengerti lawan bicaranya ingin melakukan apa yang dilakukan tahun lalu. Cerita demi cerita berlangsung, pada umumnya ditunjukkan oleh atensi yang kuat dari masing-masing pemilik raga di atas tikar rotan. 

Kepulangan saya dari nostalgia tersebut ditandai oleh celukan halus dari Bu Ratno, orang tua asuh saya tahun ini. Beliau datang sambil mengantarkan payung. Gerimis di luar menimbulkan suara khas. Jatuhan butiran air mengalirkan nada ketika ia menabrakan dirinya kepada genteng sokka. Maksud penjemputan Ibu Ratno ialah mengajak saya untuk makan malam di rumahnya. Ketika itu, saya belum pulang rumah sejak siang. Saya dicari. Untuk mencukupkan pertemuan dengan Mbah Sasmo, diantara kami mengucapkan doa untuk kebaikan dalam diri masing-masing di masa yang mendatang. Pamitan menjadi ritual kami dan berharap akan dipertemukan lagi di lain waktu.
Bu Ratmo berhasil mengantar saya pulang ketika jeda gerimis. Di rumah, Pak Ratmo mengatakan “Wah, maaf ya. Ini sudah pada makan duluan daripada nunggu kamu nanti keburu laper,” ucapan yang kembali saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Singkat cerita, setelah makan saya menuju rumah Pak Jafar selaku RT setempat. Kali ini adalah babak evaluasi panitia. Babak ini perlu dilangsungkan untuk menjaga komunikasi setiap panitia sekaligus memberi pelajaran terhadap pekerjaan ke depan. Tentunya, pengalaman adalah dosen terbaik. Oh, maaf, maksud saya bahwa pengalaman adalah guru terbaik.
Tidak terlalu lama berlangsung. Hanya sampai pukul 22:00 WIB. Pertemuan ini menjadi “Say, hello” kepada teman-teman untuk menapaki mimpi indah masing-masing. Bersama lelah, rasa senang hari ini memberikan kendaraan untuk tidur yang nyenyak. 

Hari Ketiga 22 Desember 2016
Hari ini adalah hari terakhir kami di sini. Tetapi tidak seperti keburu untuk pulang. “Ah, masih pukul 14:00 WIB nanti,” dalam batin saya. Hari ini masih dalam agenda meng-explore dusun pimpinan Pak Jafar. Sajian susu kental manis dari merk ternama memberi kehangatan tenggorokan di dalam ruang tamu. Uniknya saya mendapat minum teh, kopi susu, dan susu kental manis ketika kegiatan SOREM ini. Air minum putih yang seharusnya ikut mendominasi isi lambung saya ternyata tidak banyak-banyak amat.
Pak Ratno duduk. Diskusi pagi ini membahas tentang jiwa kepemimpinan dalam diri warga di desa ini. Tentunya, masih juga dilanjutkan soal pertanian. Sempat saya ceritakan bahwa kini pemerintah gencar mensosialisasikan pencegahan hama menggunakan konsep PHT, yakni singkatan dari pengendalian hama terpadu. Sebuah konsep mengganti kata memberantas menjadi mengendalikan hama. Saya dapat sedikit menjelaskan apa yang bisa dilakukan rekan-rekan petani pada lahan sawah mengenai konsep tersebut. Penggunaan tanaman refugia salah satunya. Pak Ratno mengangguk. Dengan dihiasi senyuman kami sepakat bahwa lahan di sini memiliki karakteristik yang berbeda. Tanah khas kemerahan yang saya pijak adalah ciri dataran Kabupaten Gunungkidul. Saya bercerita bahwa ketika saya di kampus, bahwa Fakultas Pertanian UGM, sepanjang menempuh kuliah sampai semester tiga lebih banyak dikenalkan oleh tanaman yang ada di sawah. Teladannya adalah padi. Beberapa kali dirujuki untuk mengenal jagung. Pun, belum banyak vocational education yang saya rasakan. Teori hanya berlandaskan hafalan berpeluang membentur sisi penerapan pada proses pengabdian seperti pada acara ini. Terus terang, saya belum begitu mengusai lahan seperti di Gunungkidul. Hal ini dipahami oleh Pak Ratno.
Diskusi lanjut kepada Kartu Indonesia Sehat. Program dari Jokowi tersebut nyatanya sudah sampai dusun ini. Hanya, pelaksanannya kurang maksimal. Kenyataannya distribusi kepemilikan kartu tidak merata. Di lain sisi, kini di Desa Purwodadi akan ada Puskesmas baru. Walau bangunan belum sampai tahap pengecatan, terasa harapan akan peningkatan akan fasilitas kesehatan di sini. Lalu, kami sempat berdiskusi juga soal kegiatan kerohanian seperti pengajian dan kegiatan remaja masjid di dusun setempat. Ternyata, belum terlalu maksimal. Saya harap pengamalan Al Qur’an dan As-sunah lebih ditingkatkan lagi. Yang saya kagum dari Pak Ratno adalah ketika beliau sempat memikirkan di luar kondisi langsung beliau. Satu contohnya, kemarin sore ( Hari kedua 21 Desember 2016 ) Pak Ratno mengantarkan topik terorisme yang terjadi di Indonesia. Beliau berujar bahwa teror tersebut dapat dipatahkan oleh Densus 88. Hebatnya beberapa orang teroris berhasil digerebek pada desa yang berbeda pulau dalam satu harinya. Kabar seperti ini yang dibawakan oleh beliau. Bersamaan sambil menyantap hidangan makan malam kemarin, kami membahas apa yang sedang menjadi breaking news di televisi.
Waktu masih pagi. Panas terik lebih menyengat daripada hari kemarin. Pukul 09:00 WIB saya sempatkan mengunjungi tetangga sebelah kanan rumah. Pak Broto, Bu Broto, dan Si Avin teman saya lengkap di dalam rumah. Mengajak Si Widi, tetangga depan rumah, melangsungkan pertukaran cerita layaknya rumpi seorang teman yang berbagi pengalaman. Kemudian, Bu Broto menanyakan penyakit yang di derita tanaman cabe miliknya. Gejalanya meranggas, mengerut, dan berwarna hitam. Aduh. Tiada dari kami bertiga yang mampu menjawab dengan yakin. Ini pengalaman berharga untuk memacu adrenalin pada vocational education di bidang pertanian. Alias memperbanyak pembelajaran pada praktek/lapangan. 
Tiba-tiba ajakan muncul dari Bu Broto. Beliau membawa kami jalan-jalan ke rumah saudaranya. Singgah menuju ujung utara dusun. Ajakan ini sangat kami iyakan karena Bu Broto sambil mengajak melihat goa. Goa? Ya, ini motivasi utama saya. “Iya kah di dusun ini memiliki goa,” dalam batin saya.  Keberangkatan kami dibawa asik sambil mengobrol di tengah jalan. Sampailah pada rumah saudara Bu Broto. Untuk bermaksud membuat hubungan baik, tentunya kami ikut berbincang sapa dengan saudara keluarga Bu Broto. Kali ini dihadapkan untuk bersilaturahim pada dua keluarga. Sebelum mengunjungi gua satu keluarga dan satu keluarga lagi setelahnya.

Gua tersebut perlu didaki. Tidak terlalu sulit. Hanya naik beberapa meter saja menuju puncak bukit kecil. Saya yakin seorang usia lanjut pun dapat dengan lancar menuju puncak. Dari bawah bukit, hanya terlihat pintu goa yang kecil. Ternyata tidak setelah sampai, mulut Goa cukup tinggi. Kurang lebih 2,5 meter.
Di depan goa. Mulut goa menganga, mulut saya juga menganga. Tentunya tidak selebar goa. Saat itu saya terkejut karena tahun lalu saya tidak mendapat cerita soal keberadaan goa ini. Sebenernya saya juga lupa apa nama goa ini. Namun, pikir ulang saya memberi hipotesis bahwa keberadaan goa di sini tidak sepopuler menjadi bahan cerita oleh warga untuk wisatawan, tidak seperti obrolan promosi Pantai Ngitun yang berjarak 1 jam perjalanan kaki dari dusun.

Begitulah kenampakan bagian dalam gua. Goa ini jarang dikunjungi warga. Cerita Bu Broto mengarah pada mahasiswa yang pernah masuk ke goa ini. Mahasiswa UMY dan Mahasiswa UPN pernah merasakan masuk dalam goa untuk kepentingannya masing-masing. Sedangkan kami bertiga bukan menjadi salah satu mahasiswa UGM yang dapat masuk. Bu Broto mencegah kami masuk. Bahaya katanya. Beliau tidak dapat menjamin kami bertiga berdiri tegak pada pijakan tanah licin di tengah goa. Akhirnya, kami tidak mau mengambil resiko, kami mengalah pada nafsu yang menjelajah.
Kebetulan cerita horor saya pada dusun ini bertambah di depan mulut goa. Bu Broto berujar bahwa seseorang mahasiswa pernah memotret isi dalam goa. Tepat pada batu dudukan pada awal terlihatnya bagian dalam Goa ( dalam foto, batu pada posisi center yang sisi bawah ) terdapat wanita mengenakan baju putih yang sedang mengurai rambut panjangnya. Celakanya, foto tersebut adalah nyata setelah Bu Broto melihat hasil jepretan tersebut. Tetapi beruntungnya si wanita tidak melihat ke arah kamera. Dia membelakangi kamera. “Berabe kalo liat wajahnya,” dalam hati saya. Sungguh, Bu Broto menceritakan hal tersebut ketika kami di mulut gua dengan mata kami hanya 3-4 meter dari belakang batu tersebut.
Waktu sudah tengah hari. Bayangan matahari membuat benda memiliki bayangan yang hampir tepat vertikal. Artinya, pukul 12:00 WIB menunjukkan bahwa waktu kami tinggal dua jam lagi di dusun ini. . Puas menikmati gua, kami berempat pulang membawa cerita tersebut. Kembali ke rumah masing-masing. Sudah saatnya menuju rumah Pak Jafar untuk makan siang bersama seluruh panitia dan peserta.
Kembalinya kami di rumah masing-masing kali ini memberikan secercah doa untuk kebaikan keluarga asuh di masa mendatang. Setelah beres-beres, pamitan sekaligus ucapan terima kasih menjadi pengantar ungkapan kepada keluarga Pak Ratno. Saya senang, saya dan beliau sudah “lepas” saat berkomunikasi. Padahal status beliau sudah menjadi kakek/mbah. Tentunya kesuksesan untuk sang cucu, Hestu, harus terlibat dalam doa saya. Terima kasih sebesar-besarnya layak juga untuk seluruh keluarga yang telah menemani saya dalam tiga hari tersebut. Peristiwa tukar-menukar kenangan berlangsung seru. Keluarga Pak Ratno memberikan saya satu kardus berisikan makanan. Saya balas dengan berbagai barang benda mati untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tinggal salam-salam dan foto bersama yang perlu dilakukan. 

Dari kiri : Mamak, Hestu, Bu Ratno, Pak Ratno, Saya

Sebelum berpisah, panitia memohon kepada perwakilan keluarga datang ke rumah ketua RT, Pak Jafar. Kemudian Pak Ratno yang awalnya saya ajak, justru memasrahkan perwakilan ke Bu Ratno. Saya dengan Ibu berjalan ke lokasi diadakannya sosialisasi Pengendalian Hama Terpadu ( PHT ) oleh teman-teman panitia. Sosialisasi tersebut semarak diikuti oleh perwakilan orang tua asuh, sekaligus sebagai pamitan seluruh panitia atas berlangsungnya acara di dusun Sureng I. Panitia menawarkan jamur Metarhizium anishoplae sebagai pengendali hayati untuk warga. Jamur tersebut yang akan “menghabisi” tubuh hama. Sebagai teladan, panitia memberikan beberapa bungkus untuk diterapkan. Kini, di saat saya menulis ( 9 Januari 2017), saya mendapat kabar bahwa jamur tersebut sudah memberi efek kepada hama mentul dan uret. Syukur Alhamdulillah semoga menambah inisiasi warga untuk mengendalikan hama berdasar ekologi komunitas.
Semua teman-teman mahasiswa berpamitan kepada orang tua asuh, anak-anak setempat, beberapa remaja, Pak Jafar selaku ketua RT bersama Istri, dan warga Dusun Sureng sekalian yang datang untuk menyalami perpisahan atas tiga hari bersama. Suasana tangis haru, ingin tetap bersama, dipadu dengan keceriaan senyum anak kecil setempat menjadi momen perpisahan yang tersimpan memori. Kami menaiki bis, ucapan selamat tinggal mengalir sebagai kata terakhir. Pesan untuk “hati-hati di jalan” nampaknya terhayati berujung keluarnya anggota keluarga yang “dadah” di sepanjang jalan  ketika bis mulai meninggalkan dusun ini. Balasan kami kompak pada “dadah” dengan gelak ekspresif berbujur senyum manis. Selamat tinggal Desa Sureng I. Menambah hati bahagia di pengujung tahun lalu.

Terima kasih sekali lagi untuk semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini.

Atas nama penulis. 9 Januari 2017.
Muhammad Pradipta N.
Mahasiswa Sos. Ek. Pertanian ( Agrobisnis ) Faperta UGM Yogyakarta

Wassalamualaikum wr. wb