Assalamualaikum
wr. wb.
Setelah sebelumnya program kerja
SOREM agak tersendat, tetapi akhirnya masih bisa dijalankan di akhir
kepengurusan. Walaupun mengalami halang rintang, rintangan itu memunculkan
sebuah kekompakan ketika kami mulai goyah. Tapi terkenang masa-masa sulit itu,
timbullah sebuah kesuksesan yang mempunyai arti dalam diri pengabdian. Selamat
datang untuk kami, seluruh panitia dan peserta bersama Pengabdian Masyarakat
DEMA Faperta UGM dalam kegiatan Study On Rural Empowerment 2016.
Hari
Pertama, 20 Desember 2016
Ternyata,
halangan masih terus berlanjut ketika kami (Panitia-Red) menemukan kesulitan di
hari H pemberangkatan. Akar masalahnya, kami kekurangan 11 nyawa. Mereka izin
dengan berbagai alasan. Kesemua nyawa tersebut sebenarnya ialah volunteer dari
acara ini. Mau tidak mau serta suka tidak suka maka sang Ketua dan Organizing
Committee (OC) saling berdiskusi memecahkan masalah ini. Berbagai usaha
dilakukan seperti menarik panitia menjadi seorang volunteer hingga
menghubungi kakak-kakak tingkat kedirjenan tahun lalu (2014) untuk diminta
menambah jumlah volunteer tersebut.
Saya yang mengelak untuk dijadikan volunteer
pun berubah pikiran, dari ketidakenakan membantu panitia untuk
mempersiapkan acara, beralih membantu dalam mengurangi beban kekurangan
peserta. Sejenak timbul rasa menyesal hingga tidak tulus hati saya menjadi
peserta dadakan. Kemudian waktu menjadi cepat, saya bergegas mencari
barang-barang yang dibutuhkan panitia berupa sembako dan souvenir
sebagai kenang-kenangan untuk keluarga asuh ku.
Jam berangkat pun tiba, tepat pukul
14.00 WIB bis kami serta beberapa rombongan motor berangkat menuju lokasi.
Kurang lebih 2-3 jam adalah waktu yang dibutuhkan. Waktu tersebut tidak terasa
ketika kami disuguhi pemandangan alam milik Kabupaten Gunung Kidul. Kebetulan,
Bulan Desember 2016 menjadi pemandangan hijau tatkala hujan dianugerahkan untuk
kawasan pariwisata yang sedang naik daun ini.
Sesampainya di lokasi,
terdapat acara sambutan bagi kedatangan kami yang nampaknya langsung disambut
ramah oleh warga sekitar. Buktinya, Rumah Bapak Jafar sebagai tempat berkumpul
sudah didatangi oleh para warga yang telah menyatakan siap untuk menjadi orang
tua asuh selama tiga hari. Suasana ramai ketika para panitia dan peserta sudah
dihadapkan langsung dengan calon orang tua asuh di ruangan yang tidak terlalu
besar tersebut. Masing-masing peserta memiliki wajah penasaran ketika mereka
akan dipasangkan oleh panitia. Teman-teman silih berganti tahu siapa orang tua
asuhnya. Kebetulan saya dipersilakan berdiri menggunakan lutut dan menunjukkan
wajah ketika dibacakan nama bahwa Pak Ratmo dengan Muhammad Pradipta. Senyum di
bibir saya awalnya belum menunjukkan keyakinan bahwa saya ikhlas mengikuti
kegiatan ini. Terngiang-ngiang bahwa saya sebenarnya ingin membantu panitia
dalam menyiapkan acara daripada menjadi peserta acara.
Saat itu yang datang ialah istri Pak
Ratno. Pertama kali saya tengok, beliau penuh senyum menyambutku. Ketika itu
pula, dengan perasaan biasa-biasa saja saya melangkah bersama beliau menuju
rumahnya.
Tetiba di rumahnya, ternyata ruang
tamu sudah ada Pak Ratno, Mamak (Anak Pak Ratno). Terdapat anaknya yang bernama
Hestu. Hestu sendiri ialah cucu dari Pak Ratno. Untuk Pak Ratno, tidak sempat
saya tanyakan, tetapi mohon maaf sekitar 60 tahun ke atas. Hestu dan
Mamak menyambutku dengan senang dan Pak Ratno sedikit menutup senyum.
Nampaknya di antara kami belum lepas untuk memulai obrolan. Buktinya, beberapa
kali terjadi jeda antara obrolan kami. Pak Ratno mengaku, tahun ini adalah
tahun pertama beliau memberikan hitam di atas putih untuk kesanggupan menjadi
orang tua asuh.
Saya yang tadinya belum merasakan
kedekatan antara kami, memberanikan diri membuka topik tentang silsilah
keluarga baru saya. Lalu, Pak Ratno berhasil menjelaskan dengan lancar sehingga
saya paham siapa-siapa yang ada di depan saya sekarang. Saya langsung mengerti
peran masing-masing anggota keluarga dalam suasana baru ini. Cucu Pak Ratno,
Hestu, merupakan siswi SMK yang masih menempuh masa liburan di kala itu.
Keliatannya, dalam tiga hari ini tiada kesibukan di luar rumah, artinya saya
setiap hari akan bertemu dengan mereka di rumah.
Singkat cerita, pembicaraan di malam
itu menjadi asik setelah kami telah memecah jarak dengan perkenalan tadi. Malam
itu malam yang saya khususkan untuk bonding dengan keluarga baru.
Akibatnya, panggilan dari panitia untuk berkumpul di rumah Pak RT pada satu jam
setelah pembagian orang tua asuh, saya hiraukan. Biarkanlah saya menambah
kedekatan dengan keluarga baru sebelum membantu tanggung jawab panita untuk
rapat, begitulah pikir saya.
Merasa sudah cukup, saya mohon izin
untuk pertama kali meninggalkan keluarga sebagai anak yang ingin keluar rumah
menuju ke tempat rapat. Saat itu dengan senyum khas Pak Ratno, beliau memberi
pesan hati-hati kepada saya untuk kemudian kembali pulang, melaksanakan tugas
keprofessionalan diri, yakni tidur. Kenyataannya saya keluar rumah pukul 21.00
WIB justru kembali pulang pukul 23.30 WIB. Bertegur sapa dengan dua tetangga di
dekat rumah Pak Ratno ialah penyebab asiknya membangun hubungan baru dengan
warga RT 04 dan 05 di Dusun Sureng I, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus,
Kabupaten Gunungkidul. Kebetulan di kedua tempat tersebut terdapat teman saya
yang sedang mendekatkan diri juga kepada keluarga masing-masing. Saya ikut
larut dalam pendekatan itu menemani keluarga Widi dan keluarga Megan yang
bergabung dengan keluarga Eka.
Momen ketidakenakan pertama kali
timbul ketika saya pulang. Sebuah kasur dengan 1 x 2 meter berjumlah dua,
terbungkus rapi oleh balutan sprei yang hangat. Maklum, di luar rumah sedang
hujan. Untuk menambah rasa hormat kepada hujan, saya sangat ingin melawannya
dengan kehangatan. Ketidakenakan saya sungguh terasa ditambah oleh bantal dan
sajadah yang sudah diletakkan. Saat itu kasur tersebut diletakkan di ruang tamu
sekaligus ruang keluarga lengkap dengan TV. Ruang tamu tersebut dapat terlihat
persis setelah melewati pintu terdepan rumah. Lalu, kenapa merasa tidak enak?
Bahwasannya sebelum keluar rumah pertama kali tadi, Pak Ratno menanyakan kepada
saya setelah pulang ingin tidur di mana. Beliau manawarkan untuk tidur di dalam
kamar. Singkat cerita setelah melepaskan masing-masing argumen, saya mengekang
tidur di kamar dengan berkeinginan untuk tidur di depan TV saja. Tetapi yang
tadinya bermaksud untuk tidur hanya di atas karpet justru ditambah dua buah
kasur hangat. Sungguh, terimakasih keramahan ini.
Hari Kedua
21 Desember 2016
Pagi hari ini di desa yang berjarak
3 jam dari Kota Yogyakarta tidak terlalu panas seperti ketika siang hari yang
normal di daerah Gunungkidul. Justru uap air sisa hujan semalam memberikan
sedikit kabut yang membuai embun. Kebetulan, di samping rumah ada bukit kecil
yang hijau. Setiap tanaman yang tumbuh mampu memunculkan butir uap untuk
memberi kesegaran aktivitas di bawah bukit.
Pagi itu, saya bersama Bapak
berbincang ala kadarnya dengan badan baru lepas dari tarikan kasur. Di depan
rumah, tepatnya di bawah bukit, kami dapat memandangi lalu lalang warga yang
membawa arit ataupun selendang. Sepertinya mereka ada yang ingin menyapa ladang
maupun menjumput kebutuhan pokok di pasar. Teman saya yang mengenakan sarung
berjalan dengan menggandeng anak kecil. Dia mencoba memberi pengalaman
jalan-jalan pertama kepada gandengannya di desa itu. Dialah si Hanif.
Datanglah tetangga depan rumah yang
nimbrung dalam obrolan kami, dia adalah orang tua asuh dari teman saya juga, Si
Widi. Beliau memanggilnya “Tri” lantaran terdapat tiga kata tersebut dalam nama
aslinya, yakni Tri Widianto. Sebelum beliau datang, Pak Broto ialah tetangga
samping kanan rumah yang terlebih dahulu datang. Beliau sudah banyak bercerita
dalam obrolan kami. Pak Broto mempunyai anak asuh sekaligus teman saya, Avin
Larasati. Saling bertukar informasi ialah agenda utama kami di pagi itu. Luar
dugaan, pembicaraan pagi ini memunculkan rasa penasaran saya terhadap desa ini.
Mulai dari banyaknya hama kera yang ada di ladang sebelah bukit dekat dusun.
Kera tersebut sungguh merepotkan produksi, apalagi ketika tongkol jagung
dicopot dari pangkalnya, berserakan, dibawa ke atas bukit. Mereka memakannya.
“Ah dasar kera, kalo dibunuh melanggar aturan bisa kena denda, kalo dibiarkan
giliran ladang kami di habisi,” ujar Pak Broto. Raut muka kesal berpadu dengan
rokok yang menyala. Padahal, di samping rumah kami juga terdapat bukit. “Apa
bukit di samping kita ini juga ada keranya, Pak?” tanyaku. “Wah nggih di depan
ini yo ada”, jawab pak broto dengan logat jawanya. Betapa tidak penasaran,
tahun 2016 adalah tahun kedua saya mendatangi Dusun Sureng I ini. Tahun lalu
saya tidak mendapat cerita bahwa ada penyerangan kera terhadap lahan warga.
Keingintahuan ini saya simpan untuk didiskusikan dengan Pak Ratno.
Cerita selanjutnya ialah tentang air
kapur. Pak Ratno bercerita kepada forum tentang obrolan dengan saya semalam.
Dia bercerita kalau saya sumringah ketika mengetahui cerita air yang biasa
digunakan untuk cuci baju, cuci piring, minum, masak, dan keperluan rumah
tangga lainnya memakai air dari tangki yang dijual Rp 100.000,00. “Harga
tersebut bisa membengkak ketika seorang pelanggan memiliki rumah yang jauh dari
jalan raya aspal,” tutur Pak Ratno semalam. Namun air tangki hanya marak
digunakan warga ketika sedang musim kemarau saja. Di musim hujan seperti Bulan
Desember 2016 ini warga menggantungkan pada air hujan pada sistem tadah yang
bervariasi di rumah setiap warga. Ada yang mengalirkan air hujan dari genteng
ke bak tampungan dan ada juga yang langsung menampung pada bak yang terpapar
mata hari langsung. Masih berbicara soal air tangki, ternyata air tangki di
sini menimbulkan sedikit keresahan. Awalnya saya pikir lancar-lancar saja
penggunaannya setelah dibeli, air tangki ya tinggal dipakai. Ternyata sebuah reaksi
ilmiah selalu terjadi ketika suatu cairan dipanaskan. Jika air tersebut hanya
dipenuhi oleh H20 maka air hanya menguap. Berbeda ketika warga memanaskan air
tangki ini, di ceret misalnya, sebuah kristal membatu nampak mengeras setelah
air tangki yang mendidih didinginkan. Ya, kristal yang berwarna putih
tersebut menempel pada dasar ceret dan ada juga yang tetap melayang-layang.
Bayangkan saja, air ini yang digunakan setiap hari di musim kemarau. Sungguh
pekerjaan yang merepotkan ketika menggunakan ini untuk air minum. Tentunya
perlu disaring terlebih dahulu. Air inilah yang digunakan minum oleh warga.
Cerita tersebut justru menyulut rasa
keingintahuan saya, saya mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada Pak Ratno.
Disiapkanlah sebuah ceret dan kami bergegas mencari air tampungan yang masih
banyak air kapur. Saat itu kami meminta tetangga yang masih punya air kapur.
Tak dipungkiri, ketika musim hujan ialah musim paling “lega” untuk mendapat
tegukan air minum. Air hujan mampu mendominasi daripada jumlah air kapur di
seluruh tampungan. Rasa aman lebih disyukuri olh warga ketika musim hujan.
Singkat saja, saya sudah berhasil meminta air dan langsung kami rebus.
Syaratnya, ceret diisi seperti biasa hingga terisi penuh.
Di awal masa
tunggu terhadap mendidihnya air ceret, tetiba Ibu Ratno berkeinginan ke ladang.
Kesempatan buat menemani tersebut, saya manfaatkan sekaligus belajar secara
nyata tentang kebenaran apa yang ada di ladang masyarakat. Pak Ratno ikut
menemani, sebuah arit dan topi menjadi seragam kami.
Di atas adalah pemandangan yang
ditangkap retina kami sekaligus jepretan optik kamera yang berhasil diabadikan.
Suasa tersebut masih lebih baik, setahun lalu saya ke tempat yang sama, suasana
bukit berwarna hitam. Artinya, tiada tanaman yang tumbuh. Hanya bukit batu yang
terjal. Pun dengan tanamannya, meranggas mengaum nutrisi dan air. Hanya
terlihat petak tanah luas berwarna coklat kemerahan di tahun lalu.
Maksud Ibu
Ratno bergegas ke ladang adalah mencari makan untuk tiga kambing piaraannya.
Satu dari tiga kambing tersebut adalah anakan. Jadi, perasaan untuk memelihara
kambing yang masih anakan akan menambah motivasi mencari pakan untuknya.
Sesampainya di ladang garapan Pak Ratno, muncul tugas awal untuk mengarit
rumput di sekitarnya. Sekitarnya adalah bukit hijau untuk anugerah musim ini.
Bekal
keingintahuan saya berkehendak yang lain, ketika panitia sempat
menganalisis masalah yang ada di desa ini terdapat hama uret dan hama mentul.
Hama uret adalah sejenis hewan yang berbentuk seperti ulat berwarna putih yang
hidup di dalam tanah yang di tanami tumbuh-tumbuhan. Hama uret termasuk hama
yang berbahaya, karena menyerang tanaman di bagian akar sehingga tumbuhan yang
di serang bisa layu atau mati.Hama uret berasal dari telur serangga yang hidup
di dalam tanah . Hama mentul merupakan hama berbentuk uret berwarna putih
dan berukuran lebih kecil dan tebal. Hama tersebut menyerang batang padi
berumur 15 hari sehingga merusak tanaman.
Saya bersama
bapak mencoba menggali seperti apa uret di sini. Beberapa percobaan galian arit
dilancarkan. Di pinggir ladang, saat itu kami menemukan uret. Yang satu ini
hanya anakan. Besar kemungkinan hama tersebut mendapat bentuk badan lebih besar
sejalan dengan umurnya.
Pak Ratno mengeluarkan argumen. “Mas, itu yang
dipinggir-pinggir masih kecil mas, makanya agak sulit kan nyarinya tadi. Itu di
tengah ladang lebih besar dan biasanya lebih banyak,” celetuk Bapak Ratno. Saya
membayangkan resahnya para petani saat kehilangan sumber produksinya oleh hama
ini. Kenyataannya, di pinggir ladang memang kerusakannya tidak terlalu parah.
Tidak seperti ditengah ladang. Seorang Ibu petani di ladang sebelah mempunyai
pendapat “Mas, lha iya yang pinggir tidak ada hamanya, wong
sering di buat lewat sama orang kok,” ujar Ibu petani yang tidak sempat saya
tanyakan namanya.
Bukti nyata penyerangan hama di tengah ladang
ditunjukkan oleh Pak Ratno dan Ibu tersebut. “Nah itu liat itu mas, ditengah
batangnya pada ambruk, habis semua dimakan hama,” ujar Pak Ratno setelah
kalimatnya saya ubah ke dalam Bahasa Indonesia. “Mas hamanya sudah mengganggu
sekali. Padahal kami sudah tanyakan obatnya ke dinas, ke anak-anak KKN terus
lanjut ditanyakan ke dosen mereka, tetapi masalah ini belum terselesaikan,”
tambah ibu petani tersebut. Sementara itu, kadangkala kami disebut sebagai
mahasiswa yang sedang KKN.
Dari gambar yang juga menjadi gambaran keganasan
hama uret sudah saya tunjukkan, patutlah rasa simpati dan empati teman-teman
hinggap di hati masing-masing. Bahwa sebuah rintangan seperti ini dilalui oleh
petani kita. Masihkah tidak mau menghabiskan makanannya di piring? Masihkah
tidak mau membela kata adil untuk petani? Masihkah teman-teman menganggap
petani adalah penyuplai makanan yang tidak ada jarak kedekatan dengan kita?
Dengan bermaksud secara persuasif saya mohon untuk diimplementasikan pada diri
teman-teman.
Sementara
itu, kita lanjutkan kepada cerita, Ibu petani tersebut melanjutkan
aktivitasnya. Dengan diayunkannya arit dengan piawai, Beliau menebangi tanaman
jagung miliknya. Ada apa? Setelah saya tanyakan, beliau berujar bahwa hama-hama
telah memakan beberapa bagian tanaman miliknya. Celakanya, ialah batang tanaman
jagung yang dimakan oleh hama pada pangkalnya. Terlihat oleh saya, tanaman tersebut
sudah tidak mampu berdiri tegak. Tidak hanya satu tanaman, justru banyak. Maka,
atas semua kondisi tesebut Ibu petani ini memilih untuk menebangnya. Sebuah
kalimat canda keluar dari lidah Beliau “Iya, itu saya tebangi. Lumayan buat
nambah pakan ternak.” Suasana cair sejenak.
Saat itu kami lebih banyak bercerita
soal uret. Sayangnya tentang hama mentul belum banyak dibahas dalam forum kecil
di bawah terik matahari tersebut. Hanya ada sebuah cerita kurang baik ketika
hama-hama tersebut membuat gagal panen dua kali pada dua tahun berturut.
Begitulah testimoni kegiatan pertanian oleh Bu Broto di lahan garapannya. Bu
Broto ialah istri dari Pak Broto yang tinggal di samping kanan rumah Pak Ratno.
Selesai cerita-cerita dengan Ibu
Petani, Pak Ratno meminta saya menemaninya ke atas bukit seberang. Misi kali
ini benar-benar menaiki bukit untuk mengarit tanaman dalam menambah pakan
ternak. Bergegas kami bergegas. Sampailah pada bukit sebrang, di sana justru
saya bertemu dengan dua orang pasangan setia sampai tua. Ladang Pak Ratno
bersebelahan dengan ladang dua orang ini. Dua orang tersebut yang mengajak
jalan-jalan saya di desa ini kala itu. Dua orang tersebut yang membuat manis
makan malam bersama saya di ruang tamunya. Tidak lain dan tidak bukan, dua
orang tersebut ialah orang tua saya saat berada di dusun ini pada tahun lalu.
Sungguh melepas rindu selama setahun seperti hujan kelegaan deras, jatuh tepat
di hati. Setahun lalu, antara kami bertiga yang bercengkerama di ruang tamu
berpindah di bawah gubuk bergenteng tanah liat di pinggir ladang. Sebuah ceret
yang sedang di rebus menandakan teh sudah siap di teguk. Suguhan tersebut
dinikmati bersamaan oleh bau asap hasil bakaran arang panas di bawah ceret.
Luar biasa nostalgia ini di antara kami. Dengan pemandangan sawah, kini sebuah
perbincangan deja vu berlangsung. Oiya, nama beliau adalah Mbah Sasmo
beserta Mbah Putri yang setia menemani.
Awalnya mbah putri lupa akan siapa
saya. Kejadian lucu bahwa beliau hanya hafal betul asal daerah anak asuhnya,
Beliau berujar bahwa ia dari Kulon Progo tapi besar di Sumatra. Kemudian saya
mengaku “Mbah yang bener itu dari Kulon Progo tetapi besar di Semarang, ini lho
mbah saya yang tinggal di tempat mbah tahun lalu,” bantah saya sambil membuka
topi, dalam arti menunjukkan muka diri yang pernah menjadi anak asuhnya.
“Oalah, jabang bayi. Kamu ternyata, ” terdengar gelak tawa olehnya.
Seperti orang yang pernah memiliki
asmara, momen tersebut ialah CLBK ( Cinta Lama Bersemi Kembali ). Sebuah momen
temu kangen antara kami, mengingatkan saya akan gaya khas Mbah Sasmo dan Mbah
Putri dalam mengungkapkan cerita. Cerita horor yang termasuk menu utama kami
tahun lalu bertambah tiga cerita yang dibagikan kepada saya di gubuk tersebut.
Lengkap dengan teh pelancar komunikasi di tenggorokan. Kata mereka, tahun ini
saya sudah banyak menjawab dengan Bahasa Jawa pada tingkatan krama, tidak
seperti tahun lalu. Itulah salah satu perkembangan yang diakui oleh kedua orang
tersebut.
Cengkrama tinggal cengkrama. Senyum
saya menjadi senyum perpisahan sesaat ketika Pak Ratno, orang tua asuh saya
sekarang, mengajak pulang. Tandanya, sudah ada kumpulan pakan ternak di
bahunya. Usai mengucap janji bahwa akan singgah ke rumah Mbah Sasmo nanti sore,
saya bergegas pulang. Untuk membantu pekerjaan, pundak saya ikut-ikutan menahan
pakan ternak hasil kumpulan Bapak dan Ibu Ratno.
Di jalan setapak untuk pulang, kami
melihat bukit seberang. Banyak gerombolan kera. Kesal dan sebal tiada tara. Pak
Ratno dan Ibu Ratno melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kera-kera itu
mengambil tongkol jagung yang sudah menguning. “Woy! Pergi ! Habis ini ladang
nanti!” teriak beliau. Kesal ini bertambah tatkala melihat gerombolan keraa
tadi menaiki bukit lalu menyebar ke arah atas. “Ya Allah banyak sekali
ternyata. Ladang di sini banyak, santapan jagung melimpah. Apa iya kera-kera
dengan enaknya tidak mengambil kesempatan ini. Lalu harus diapakan mereka.
Sementara dibunuh melanggar aturan,” batinku. Selama ini, populasi mereka
sempat berkurang oleh pengangkutan sebuah truk. Kala itu kera-kera dibawa ke
Jawa Barat. Tapi entahlah, populasi cepat bertambah. Hama kera masih menjadi
topik bahasan untuk kegiatan pertanian di sini.
Kami lanjutkan pulang. Lomba balap
kecil menenteng beban di bahu menjadi ajang pencarian bakat pembawa pakan
ternak tercepat. Saat itu treknya adalah menaiki bukit untuk pulang. Dengan
langkah pasti, saya tercepat untuk menggapai atas bukit jalan pulang. Penulis
menang.
Sesampainya
di rumah, saya sudah capek. Kini ditunjukkan oleh mamak, ceret hasil rebusan
air kapur yang tadi pagi sudah mendidih. Metodenya, 1/4 air disisakan di dalam
ceret sementara 3/4 dipakai untuk keperluan lain. 1/4 dari volume ini disisakan
supaya memberi kemudahan dalam menilik kotoran dan kristal yang dihasilkan oleh
air kapur. Perlahan untuk berubah dingin merupakan waktu yang perlu ditunggu.
Hingga dengan jelas saya dapat mengamati sesuatu endapan.
Cerita tentang air kapur ini memang
nyata. Bahwa air inilah yang ikut dalam prioritas kesekian konsumsi warga. Saya
turut mempunyai rasa empati terhadap warga di Gunungkidul. Kenyataannya air
tangki ini juga menjadi prioritas konsumsi oleh masyarakat se-Gunungkidul.
Beberapa dari mereka masih berani menggunakan air tersebut sebagai air minum.
Masih di hari yang sama, panas terik
menjadi ciri khas Gunungkidul ketika tengah hari. Suasana gerah menuntunku
mandi dalam suasana baru. Sebuah kamar mandi terbuka tanpa pintu dan beratapkan
langit serta kepala saya dapat terlihat oleh orang di sekitar. Sementara itu,
ketika saya ingin membuka baju tetiba sekelompok anggota keluarga lengkap tanpa
kehadiran sang ayah menyapaku. Saya kaget. Uniknya, masih sempat saya ladeni
obrolannya dengan tawa. Intinya, mereka menanyakan keberadaan teman saya yang
tahun lalu mengikuti acara yang sama. Bersamaan dengan ini, hanya nampak kepala
saya dari luar. Selesai topik, saya berlanjut membasuh diri. Air bak yang adem
berkolaborasi dengan sengatan matahari.
Siang hari masih terik. Panitia memanggil semua mahasiswa untuk berkumpul
ke rumah Pak RT. Hari ini ada kegiatan dari panitia, yakni Bazar Baju Murah.
Bazar baju kali ini berkonsep murah. Rencananya hasil dari penjualan kami ini
akan di sumbangkan untuk dana kas desa. Bertumpuknya pakaian bekas pakai ialah
hasil kumpulan milik teman-teman mahasiswa di kampus. Bapak-bapak dan Ibu-ibu
berdatangan memilih barang yang akan dibelinya. Seorang anak kecil berkicau
ingin mengenakan memilih baju polo putih bertuliskan “Berkuda. Universitas
Gadjah Mada.” Saya tau baju tersebut sumbangan teman saya, si Widi. Raut
senangnya terlihat saat pertama kali memakai baju-baju penjualan kami. Ah anak
kecil ini.
Lalu,
kegiatan dari panitia untuk sore ini adalah pembuatan verticulture.
Verticulture adalah pola bercocok tanam yang menggunakan wadah tanam
vertikal untuk mengatasi keterbatasan lahan. Acara ini diikuti oleh anak-anak.
Mungkin tidak ada peserta yang melebihi tingkat SD. Mereka mengikuti dengan
ceria. Sesuai judul untuk kegiatan ini, Pertanian Ceria. Pembuatan yang tidak
terlalu sulit adalah kelebihan dalam melancarkan praktek. Kumpulan game
serta ice breaking dari kakak-kakak panitia dan peserta saat itu membuat
suasana cair. Hasil jadi verticulture dari anak-anak lalu digantungkan
di sekitaran masjid dan di depan rumah masing-masing. Sawi menjadi komoditas pelecut
semangat mereka untuk menanam lebih banyak sayuran di pekarangan rumah.
Kegiatan di tutup dengan game pendinginan.
Setelah
kagiatan dari panitia hari ini selesai, saya memberanikan diri untuk singgah di
keluarga asuh lama saya di tahun lalu. Janji untuk singgah telah terucap sejak
dari ladang tadi pagi. Dengan membawakan oleh-oleh berupa baju murah dari acara
Bazar Baju Murah ini, membuat saya semangat untuk memberikan sesuatu barang
yang tiada habis disimpan dalam lemari. Harapannya menjadi bukti pengingat
mereka di tahun kedua bahwa saya mengunjungi dusun ini. Bersama saya, bukti ini
sampai di rumah mereka di saat waktu Magrib. Dan benar saja, Mbah Sasmo sudah
sedia duduk santai di ruang tamunya. Barang yang saya bawa kemudian saya
tunjukkan sebagai rasa untuk bereuni. Tikar dari rotan menjadi saksi awal
nostalgia kami. Sebuah suguhan khas keluarga ini pun dihidangkan. Menandakan
ada tamu hangat ingin merasakan memori masa lalu.
Gula batu dari aren menjadi pemanis
setia untuk keluarga ini. Entah, dengan maksud kesehatan ataupun selera. Tapi
penggunaan pemanis tersebut sudah dilakukan sejak lama untuk memaniskan ruang
tamu itu. Pembicaraan mulai terasa dekat ketika barang bawaan saya dikeluarkan.
Dua baju untuk Mbah Sasmo dan satu stel baju untuk mbah putri nampaknya cocok
dan pas dengan ukuran tubuh masing-masing. Terima kasih untuk teman-teman
panitia yang turut memilihkan baju tersebut. Gelak cerita mulai disajikan
seperti tahun lalu. Mbah Sasmo kini mengerti lawan bicaranya ingin melakukan apa
yang dilakukan tahun lalu. Cerita demi cerita berlangsung, pada umumnya
ditunjukkan oleh atensi yang kuat dari masing-masing pemilik raga di atas tikar
rotan.
Kepulangan saya dari nostalgia
tersebut ditandai oleh celukan halus dari Bu Ratno, orang tua asuh saya tahun
ini. Beliau datang sambil mengantarkan payung. Gerimis di luar menimbulkan
suara khas. Jatuhan butiran air mengalirkan nada ketika ia menabrakan dirinya
kepada genteng sokka. Maksud penjemputan Ibu Ratno ialah mengajak saya untuk
makan malam di rumahnya. Ketika itu, saya belum pulang rumah sejak siang. Saya
dicari. Untuk mencukupkan pertemuan dengan Mbah Sasmo, diantara kami
mengucapkan doa untuk kebaikan dalam diri masing-masing di masa yang mendatang.
Pamitan menjadi ritual kami dan berharap akan dipertemukan lagi di lain waktu.
Bu Ratmo berhasil mengantar saya
pulang ketika jeda gerimis. Di rumah, Pak Ratmo mengatakan “Wah, maaf ya. Ini
sudah pada makan duluan daripada nunggu kamu nanti keburu laper,” ucapan yang
kembali saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Singkat cerita, setelah
makan saya menuju rumah Pak Jafar selaku RT setempat. Kali ini adalah babak
evaluasi panitia. Babak ini perlu dilangsungkan untuk menjaga komunikasi setiap
panitia sekaligus memberi pelajaran terhadap pekerjaan ke depan. Tentunya,
pengalaman adalah dosen terbaik. Oh, maaf, maksud saya bahwa pengalaman adalah
guru terbaik.
Tidak terlalu lama berlangsung.
Hanya sampai pukul 22:00 WIB. Pertemuan ini menjadi “Say, hello” kepada
teman-teman untuk menapaki mimpi indah masing-masing. Bersama lelah, rasa
senang hari ini memberikan kendaraan untuk tidur yang nyenyak.
Hari Ketiga
22 Desember 2016
Hari ini adalah hari terakhir kami
di sini. Tetapi tidak seperti keburu untuk pulang. “Ah, masih pukul 14:00 WIB
nanti,” dalam batin saya. Hari ini masih dalam agenda meng-explore dusun
pimpinan Pak Jafar. Sajian susu kental manis dari merk ternama memberi
kehangatan tenggorokan di dalam ruang tamu. Uniknya saya mendapat minum teh, kopi
susu, dan susu kental manis ketika kegiatan SOREM ini. Air minum putih yang
seharusnya ikut mendominasi isi lambung saya ternyata tidak banyak-banyak amat.
Pak Ratno duduk. Diskusi pagi ini
membahas tentang jiwa kepemimpinan dalam diri warga di desa ini. Tentunya,
masih juga dilanjutkan soal pertanian. Sempat saya ceritakan bahwa kini
pemerintah gencar mensosialisasikan pencegahan hama menggunakan konsep PHT,
yakni singkatan dari pengendalian hama terpadu. Sebuah konsep mengganti kata
memberantas menjadi mengendalikan hama. Saya dapat sedikit menjelaskan apa yang
bisa dilakukan rekan-rekan petani pada lahan sawah mengenai konsep tersebut.
Penggunaan tanaman refugia salah satunya. Pak Ratno mengangguk. Dengan dihiasi
senyuman kami sepakat bahwa lahan di sini memiliki karakteristik yang berbeda.
Tanah khas kemerahan yang saya pijak adalah ciri dataran Kabupaten Gunungkidul.
Saya bercerita bahwa ketika saya di kampus, bahwa Fakultas Pertanian UGM,
sepanjang menempuh kuliah sampai semester tiga lebih banyak dikenalkan oleh
tanaman yang ada di sawah. Teladannya adalah padi. Beberapa kali dirujuki untuk
mengenal jagung. Pun, belum banyak vocational education yang saya
rasakan. Teori hanya berlandaskan hafalan berpeluang membentur sisi penerapan
pada proses pengabdian seperti pada acara ini. Terus terang, saya belum begitu
mengusai lahan seperti di Gunungkidul. Hal ini dipahami oleh Pak Ratno.
Diskusi lanjut kepada Kartu
Indonesia Sehat. Program dari Jokowi tersebut nyatanya sudah sampai dusun ini.
Hanya, pelaksanannya kurang maksimal. Kenyataannya distribusi kepemilikan kartu
tidak merata. Di lain sisi, kini di Desa Purwodadi akan ada Puskesmas baru.
Walau bangunan belum sampai tahap pengecatan, terasa harapan akan peningkatan
akan fasilitas kesehatan di sini. Lalu, kami sempat berdiskusi juga soal
kegiatan kerohanian seperti pengajian dan kegiatan remaja masjid di dusun
setempat. Ternyata, belum terlalu maksimal. Saya harap pengamalan Al Qur’an dan
As-sunah lebih ditingkatkan lagi. Yang saya kagum dari Pak Ratno adalah ketika
beliau sempat memikirkan di luar kondisi langsung beliau. Satu contohnya,
kemarin sore ( Hari kedua 21 Desember 2016 ) Pak Ratno mengantarkan topik
terorisme yang terjadi di Indonesia. Beliau berujar bahwa teror tersebut dapat
dipatahkan oleh Densus 88. Hebatnya beberapa orang teroris berhasil digerebek
pada desa yang berbeda pulau dalam satu harinya. Kabar seperti ini yang
dibawakan oleh beliau. Bersamaan sambil menyantap hidangan makan malam kemarin,
kami membahas apa yang sedang menjadi breaking news di televisi.
Waktu masih pagi. Panas terik lebih
menyengat daripada hari kemarin. Pukul 09:00 WIB saya sempatkan mengunjungi
tetangga sebelah kanan rumah. Pak Broto, Bu Broto, dan Si Avin teman saya
lengkap di dalam rumah. Mengajak Si Widi, tetangga depan rumah, melangsungkan
pertukaran cerita layaknya rumpi seorang teman yang berbagi pengalaman.
Kemudian, Bu Broto menanyakan penyakit yang di derita tanaman cabe miliknya.
Gejalanya meranggas, mengerut, dan berwarna hitam. Aduh. Tiada dari kami
bertiga yang mampu menjawab dengan yakin. Ini pengalaman berharga untuk memacu
adrenalin pada vocational education di bidang pertanian. Alias
memperbanyak pembelajaran pada praktek/lapangan.
Tiba-tiba
ajakan muncul dari Bu Broto. Beliau membawa kami jalan-jalan ke rumah
saudaranya. Singgah menuju ujung utara dusun. Ajakan ini sangat kami iyakan
karena Bu Broto sambil mengajak melihat goa. Goa? Ya, ini motivasi utama saya.
“Iya kah di dusun ini memiliki goa,” dalam batin saya. Keberangkatan kami
dibawa asik sambil mengobrol di tengah jalan. Sampailah pada rumah saudara Bu
Broto. Untuk bermaksud membuat hubungan baik, tentunya kami ikut berbincang
sapa dengan saudara keluarga Bu Broto. Kali ini dihadapkan untuk bersilaturahim
pada dua keluarga. Sebelum mengunjungi gua satu keluarga dan satu keluarga lagi
setelahnya.
Gua tersebut
perlu didaki. Tidak terlalu sulit. Hanya naik beberapa meter saja menuju puncak
bukit kecil. Saya yakin seorang usia lanjut pun dapat dengan lancar menuju
puncak. Dari bawah bukit, hanya terlihat pintu goa yang kecil. Ternyata tidak
setelah sampai, mulut Goa cukup tinggi. Kurang lebih 2,5 meter.
Di depan
goa. Mulut goa menganga, mulut saya juga menganga. Tentunya tidak selebar goa.
Saat itu saya terkejut karena tahun lalu saya tidak mendapat cerita soal
keberadaan goa ini. Sebenernya saya juga lupa apa nama goa ini. Namun, pikir
ulang saya memberi hipotesis bahwa keberadaan goa di sini tidak sepopuler
menjadi bahan cerita oleh warga untuk wisatawan, tidak seperti obrolan promosi
Pantai Ngitun yang berjarak 1 jam perjalanan kaki dari dusun.
Begitulah kenampakan bagian dalam
gua. Goa ini jarang dikunjungi warga. Cerita Bu Broto mengarah pada mahasiswa
yang pernah masuk ke goa ini. Mahasiswa UMY dan Mahasiswa UPN pernah merasakan
masuk dalam goa untuk kepentingannya masing-masing. Sedangkan kami bertiga
bukan menjadi salah satu mahasiswa UGM yang dapat masuk. Bu Broto mencegah kami
masuk. Bahaya katanya. Beliau tidak dapat menjamin kami bertiga berdiri tegak
pada pijakan tanah licin di tengah goa. Akhirnya, kami tidak mau mengambil
resiko, kami mengalah pada nafsu yang menjelajah.
Kebetulan cerita horor saya pada
dusun ini bertambah di depan mulut goa. Bu Broto berujar bahwa seseorang
mahasiswa pernah memotret isi dalam goa. Tepat pada batu dudukan pada awal
terlihatnya bagian dalam Goa ( dalam foto, batu pada posisi center yang
sisi bawah ) terdapat wanita mengenakan baju putih yang sedang mengurai rambut
panjangnya. Celakanya, foto tersebut adalah nyata setelah Bu Broto melihat
hasil jepretan tersebut. Tetapi beruntungnya si wanita tidak melihat ke arah
kamera. Dia membelakangi kamera. “Berabe kalo liat wajahnya,” dalam hati saya.
Sungguh, Bu Broto menceritakan hal tersebut ketika kami di mulut gua dengan
mata kami hanya 3-4 meter dari belakang batu tersebut.
Waktu sudah tengah hari. Bayangan
matahari membuat benda memiliki bayangan yang hampir tepat vertikal. Artinya,
pukul 12:00 WIB menunjukkan bahwa waktu kami tinggal dua jam lagi di dusun ini.
. Puas menikmati gua, kami berempat pulang membawa cerita tersebut. Kembali ke
rumah masing-masing. Sudah saatnya menuju rumah Pak Jafar untuk makan siang
bersama seluruh panitia dan peserta.
Kembalinya
kami di rumah masing-masing kali ini memberikan secercah doa untuk kebaikan
keluarga asuh di masa mendatang. Setelah beres-beres, pamitan sekaligus ucapan
terima kasih menjadi pengantar ungkapan kepada keluarga Pak Ratno. Saya senang,
saya dan beliau sudah “lepas” saat berkomunikasi. Padahal status beliau sudah
menjadi kakek/mbah. Tentunya kesuksesan untuk sang cucu, Hestu, harus terlibat
dalam doa saya. Terima kasih sebesar-besarnya layak juga untuk seluruh keluarga
yang telah menemani saya dalam tiga hari tersebut. Peristiwa tukar-menukar
kenangan berlangsung seru. Keluarga Pak Ratno memberikan saya satu kardus
berisikan makanan. Saya balas dengan berbagai barang benda mati untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Tinggal salam-salam dan foto bersama yang perlu dilakukan.
|
|
Dari kiri : Mamak, Hestu, Bu Ratno, Pak Ratno, Saya
|
|
|
|
Sebelum berpisah, panitia memohon
kepada perwakilan keluarga datang ke rumah ketua RT, Pak Jafar. Kemudian Pak
Ratno yang awalnya saya ajak, justru memasrahkan perwakilan ke Bu Ratno. Saya
dengan Ibu berjalan ke lokasi diadakannya sosialisasi Pengendalian Hama Terpadu
( PHT ) oleh teman-teman panitia. Sosialisasi tersebut semarak diikuti oleh
perwakilan orang tua asuh, sekaligus sebagai pamitan seluruh panitia atas
berlangsungnya acara di dusun Sureng I. Panitia menawarkan jamur Metarhizium
anishoplae sebagai pengendali hayati untuk warga. Jamur tersebut yang akan
“menghabisi” tubuh hama. Sebagai teladan, panitia memberikan beberapa bungkus
untuk diterapkan. Kini, di saat saya menulis ( 9 Januari 2017), saya mendapat
kabar bahwa jamur tersebut sudah memberi efek kepada hama mentul dan uret.
Syukur Alhamdulillah semoga menambah inisiasi warga untuk mengendalikan hama
berdasar ekologi komunitas.
Semua teman-teman mahasiswa
berpamitan kepada orang tua asuh, anak-anak setempat, beberapa remaja, Pak
Jafar selaku ketua RT bersama Istri, dan warga Dusun Sureng sekalian yang
datang untuk menyalami perpisahan atas tiga hari bersama. Suasana tangis haru,
ingin tetap bersama, dipadu dengan keceriaan senyum anak kecil setempat menjadi
momen perpisahan yang tersimpan memori. Kami menaiki bis, ucapan selamat
tinggal mengalir sebagai kata terakhir. Pesan untuk “hati-hati di jalan”
nampaknya terhayati berujung keluarnya anggota keluarga yang “dadah” di
sepanjang jalan ketika bis mulai meninggalkan dusun ini. Balasan kami
kompak pada “dadah” dengan gelak ekspresif berbujur senyum manis. Selamat
tinggal Desa Sureng I. Menambah hati bahagia di pengujung tahun lalu.
Terima kasih
sekali lagi untuk semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ini.
Atas nama
penulis. 9 Januari 2017.
Muhammad
Pradipta N.
Mahasiswa
Sos. Ek. Pertanian ( Agrobisnis ) Faperta UGM Yogyakarta
Wassalamualaikum
wr. wb
.